Ibuku Pahlawanku ....
Ibuu...tidak ada syair dan lukisan terindah yang pantas untuk menggambarkan jerih payah dan perjuanganmu , sembilan bulan mengandung anak-anakmu, melahirkan kemudian membesarkannya tanpa mengenal lelah.
Ibuku walau dirimu tidak segagah Cut Nya Dien dan Martha Tyiahehu bergerilya mengangkat senjata melawan penjajah, juga seperti Cut Malahayati sebagai panglima angkatan laut yang memimpin puluhan ribu orang berperang membela kehormatan bangsa
dan negaranya.Bukan pula secerdas RA Kartini yang sudah berpikir kritis dan pandai membaca, menulis dan berkomunikasi lewat surat ke sahabatnya pada pada jaman yang masih diliputi keterbelakangan dan kejumudan. Tradisi yang jaman terjajah tersebut, perempuan yang hanya dianggap sebagai "konco wingking" (Jawa = teman belakang/yang di dapur, sumur,kasur) yang
dianggap hanya sebagai pelengkap suami, sehingga muncul istilah " Suargo nunut neroko katut" (Jawa = Kalau suami masuk syurga terbawa, tapi sebaliknya kalau suami terjerumus neraka akan terbawa juga).
Kumpulan surat RA Kartini terangkum dalam buku "Habislah Gelap Terbitlah Terang" ternyata terinspirasi dari ayat Alquran...minadzdzulumaati illa nuur" dari kegelapan/ kebodohan dan keterbelakangan penindasan penjajah ke cahaya terang ilmu dan keimanan, yang terdapat di QS. Al Baqoroh : 257, QS. Al Maidah : 16, QS. Ibrahim : 1 - 5, QS. Al Ahzab : 43, QS. Al Hadid : 9, QS At-Thalaq : 11. Kala itu RA Kartini muda rajin ikut pengajian di Pamannya Bupati Pangeran Ario
Hadiningrat yang diisi oleh Kyai Sholeh bin Umar dari Darat Semarang, yang terkenal dengan nama Kyai Sholeh Darat. Jiwa cerdas dan kritis sang Raden Ayu berontak untuk mengetahui isi kandungan ayat- ayat pada Alquran yang kala itu tabu dan dilarang penjajah untuk diterjemahkan. Akhirnya Raden Ayu meminta bantuan pamannya untuk mengutarakan maksudnya kepada Kyai Sholeh Darat. Pertanyaan pertama sang Raden Ayu : "Apakah hukumnya orang pintar yang menyembunyikan ilmunya?". Terhenyak hati dan jiwa Kyai, tertantang untuk menjalankan tugas tersebut, akhirnya Kyai Sholeh menterjemahkan Alquran ke bahasa Jawa dengan tulisan pegon (tulisan Arab gundul yang tidak memakai saktah) dari Surat Al Fatihah sampai Ibrahim, yang disampaikan ke Raden Ayu Kartini sebagai kado pernikahannya dengan Bupati Rembang. Namun cita- cita mulia Kartini untuk
menjadi muslimah sejati yang sholehah sesuai tuntunan Alquran telah diselewengkan oleh propaganda penjajah Belanda sebagai pejuang emansipasi wanita yang salah kaprah. Karena penjajah tahu betapa pentingnya peran seorang ibu sebagai "soko guru " bagi pembentukan tunas bangsa.
Ibuku lahir pada tahuan 1945, terpaut 15 tahun dengan Bapak. Ibuku bukan pula seperti Raden Dewi Sartika tokoh pendidikan di tatar Sunda yang diusia belia, 11 tahun sudah mengajarkan membaca, menulis dan bahasa (Sunda, Belanda dan Melayu) kepada teman- temannya yang masih buta huruf karena tidak dapat mengenyam pendidikan seperti Sang Dewi. Namun walaupun Sang Dewi memiliki kelebihan ilmu dan pengetahuan , tidak membuatnya pongah dan sombong. Justru Sang Dewi ingin berbagi ilmu kepada sesamanya. Akhirnya Dewi Sartika berhasil mendirikan Sekolah Keutamaan Istri yang mengajarkan bahasa, berbagai ilmu pengetahuan dan ketrampilan seperti memasak,menjahit,mengatur rumah tangga yang harus dimiliki seorang perempuan agar menjadi perempuan utama dan mandiri, yang tahu tugas dan perannya dalam membentuk generasi penerus bangsa.
Kiprah Sang Dewi bak pelita di tengah kegelapan bagi kaumnya agar menjadi wanita utama. Selain memiliki idealisme dan cita- cita yang tinggi untuk kaumnya, Sang Dewi juga sudah memiliki kemampuan dalam menembus kebijakan dan birokrasi di alam penjajahan kala itu, juga terbukti betapa handal jiwa kepemimpinan beliau dalam mengelola/memenej beberapa sekolahnya yang tersebar di tanah Parahyangan.
Ibuku hanya sempat mengenyam pendidikan sampai kelas 1 SMP, sudah keburu dinikahkan oleh orang tuanya, yang kala itu memang kakekku masih berpaham konvensional sekali, buat apa,perempuan sekolah tinggi-tinggi nanti akhirnya ke dapur juga. Ibu menurut juga dan tidak pernah menyesali dan protes, kalau teman sekolahnya yang meneruskan sekolahnya menjadi orang/pegawai. Namun Bapak juga sama hanya sampai jenjang SMP karena yatim sejak kecil dan meneruskan mengurus ladang dan sawah kakek. Kami anak- anaknya beruntung, Ibu dan Bapak kami sudah berpikiran maju dan bertekad menyekolahkan kami sampai jenjang Sarjana. Kami rasakan ibu mewarisi ruh semangat Sang Dewi dalam memperjuangkan dan membekali anaknya untuk masa depan yang lebih baik, bermanfaat hidupnya, bahagia di dunia dan akherat. Dengan mencurahkan segala pikiran dan tenaganya ibu bekerja membanting tulang tak kenal lelah membantu Bapak untuk membiayai sekolah anak-anaknya, untuk mewujudkan cita-cita anaknya. Ibu dan Bapakku hanya petani kecil, yang hanya mendapat uang jika saat panen tiba, sering harus berhutang kepada saudara yang punya gaji untuk bekel atau bayaran sekolah kami. Pernah satu kali karena keteledoran saya, kecopetan sejumlah uang SPP satu semester saat antri bayar uang kuliah, waktu itu saya masih polos berpikir orang jujur seperti yang diajarkan orang tuaku.
Masih ingat waktu saya kecil, Ibu lebih terampil dalam mengendarai sepeda onthel, sehingga tugas mengangkut pupuk ibu yang membawa nya, sekali dapat membawa 1 kwintal (2 karung besar) yang akan disebarkan dilahan.Sebelum ada penggilingan padi , ibulah yang menumbuk nya bulir-bulir padi menjadi butiran beras. Saat panen tiba, tidak terkira gembira hati kami. Sejak kecil disela-sela waktu sekolah kami (saya dua bersaudara) diajarkan untuk sedapat mungkin membantu pekerjaan sebatas
kemampuan kami. Kami merasakan jerih payah bagaimana sebutir padi disemai kemudian menjadi sepiring nasi yang siap disantap, maka kami pun selalu mengajarkan kepada anak- anak untuk menghargai dan mensyukuri nikmat Allah. Kami juga sedih kalau melihat anak sekarang tinggal makan saja susah atau di perhelatan/jamuan orang sekenanya mengambil makanan sendiri tapi menyia-nyiakan/tidak dihabiskan hanya di acak, padahal bukan karena kualitas makanannya yang tidak layak makan, tapi karena kebiasaan yang tidak mensyukuri nikmat yang Allah yang diberikan.
Kejujuran dan kesederhanaan diajarkan kami sejak kecil. Kebetulan ibu dan bapak kami dipercaya untuk menjadi bendahara pembangunan masjid di desa kami. Kalau datang bulan purnama (waktu itu listrik belum sampai di desa kami), para pemuda keliling untuk menarik iuran pembangunan masjid, dan uangnya dikumpulkan di ibu, bapak kami, ditaruh di laci lemari, walaupun kami melihatnya tapi kami tidak berani mengambil serupiah pun...Ibu juga yang mengelola pembangunan masjid sekaligus memasak untuk yang kerja. Alhamdulillah, akhirnya setelah bertahun-tahun jadilah masjid di desa kami
.Kesederhanaan keluarga kami karena demi kami dapat sekolah , kami tidur beralaskan tikar di atas dipan kami. Kasur terbeli saat bapak sakit beberapa bulan menjelang wafatnya, tahun 1993. Yang membuat sedih kami bapak sudah berniat melaksanakan ibadah haji, dengan menjual sebagian sawahnya, tapi keburu ajal menjemput. Sebelumnya sudah berwasiat kalau sampai ajal menjemput, saya yang harus berangkat. Mungkin bapak berpikiran mewasiatkan ke anaknya karena hadist tidak terputus pahala dengan 3 perkara ilmu yang bermanfaat, amalan jariah dan anak sholeh, semoga saya benar -benar menjadi anak sholeh sesuai harapan orang tua. Tahun 1994, saat sudah selesai kuliah tinggal nunggu wisuda, saya jalankan wasiat Bapak menunaikan ibadah haji, sedang Bapak diwakilkan oleh seorang mukim di Mekah. Di tanah suci tidak terbendung air mataku mengingat
perjuangan ibu dan bapakku. Setiap saat selalu kupanjatkan kepada keduanya. Robbigjfirlii waliwalidaiyya warhamhuma kamaa robbayaani shoghiiroo...Ya Alloh Ya Robb kami, ampunilah dosa kami dan kedua orang tua kami dan sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku sejak kecil.
Beberapa tahun (2006) kemudian baru ibu bisa berangkat menunaikan ibadah haji, setelah nunggu anaknya berkeluarga dan bisa mencarikan untuk ongkosnya,karena ibu tidak mau menjual sawahnya lagi ke orang lain tapi agar dapat diwariskan ke anak cucunya. Begitu dalam curahan kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya. Alhamdulillah sampai sekarang dengan usia 72 tahun ibu masih sehat dan dapat pulang pergi sendiri Solo -Subang untuk mengunjungi cucunya, Ya Allah teririmakasih atas segala nikmat yang telah Kau berikan kepada umatNya. Ijinkan hamba untuk merengkuh syurga bersama keluarga dan orang tua kami.
Tak terasa bulir air mata mengalir di kedua pelupuk mataku, selain doa yang bisa kupanjatkan, timbul pertanyaan dalam hatiku, bisakah aku mewarisi ruh semangat perjuanganmu????? Bagi anak-anak dan siswa kami, generasi penerus bangsa kami.....
NB. Kisah pada artikel tersebut dimuat di buku : Menghidupkan Ruh Dewi Sartika Dalam Jiwa Para Guru Seri Esssay, Penerbit Situseni, Bandung 2017.
Makin bersinar buu.. ๐๐๐
ReplyDeleteNuhun Ibu Pupuhu , Ibu Arum...๐
Deletekeren tulisannya....mantaf ceritanya, membuat kita ingin dipeluk ibunda tercinta
ReplyDeleteNuhun Ibu Ketu MGMp ku...๐
DeleteSelamat Bu, teruslah berkarya. Semoga saya bisa mengikuti jejak Ibu.
ReplyDeleteSelamat, artikelnya sangat menginspirasi. Ibu, Ibu, dan Ibu. Kemudian Ayah
ReplyDeleteMuhun, nuhun Pak Wiet..๐
Delete๐๐๐
ReplyDeleteTulisan yang inspiratif.
ReplyDeleteSemoga kita bisa membahagiakan ibu dan juga tentunya ayah kita,selagi mereka masih ada.
๐๐๐๐๐
ReplyDeleteMantap ibuu ❤️❤️❤️
ReplyDelete